Tokoh Pengusaha Startup Indonesia, Nadiem Makarim | Pendiri Go-Jek,
Saat ini, ada lebih dari 1500 startup di Indonesia. Ada yang berpotensi menjadi perusahaan besar, ada pula yang lahir untuk menghirup udara sebentar, lalu mati selama-lamanya. Nah, dari banyaknya startup yang ada di Indonesia ini, kita dapat menjadikan pengalaman mereka sebagai inspirasi. Tertutama dari pengusaha-pengusaha startup sukses yang kini telah melepaskan diri dari label startup yang tentu telah mengalami pahit dan manis dalam membangun bisnisnya.
1. Nadiem Makarim
Nadim Makarim lahir pada 4 Juli 1984. Ia merupakan CEO dari perusahaan teknologi paling hits saat ini, yaitu Go-Jek, Keputusannya membangun bisnis startup memang cukup berani. Ia yang tidak terlahir dari keluarga pengusaha, berani mempertaruhkan jabatannya saat itu, yakni direktur e-commerce.
Nadiem sungguh berbeda dengan kebanyakan lulusan universitas ternama, apalagi ia sudah lulusan Harvard University. Jika kebanyakan dari mereka berlomba-lomba untuk dapat bekerja di perusahaan top, Nadiem justru sebaliknya. Ia memilih jalur antiarus utama agar dapat mengontrol takdirnya sendiri. Terlebih, dia memang tidak betah bekerja di perusahaan orang lain.
Ide brilian mendirikan Go-Jek lahir dari pengalaman Nadiem menggunakan jasa ojek. Semasa masih bekerja di perusahaan orang lain, ia lebih sering memakai ojek saat pulang dan pergi daripada mobil pribadi. Menurutnya, tingkat kecelakaan pengguna ojek sangat kecil. Karena itulah, hampir 5 kali dalam sehari ia naik ojek.
Meskipun Nadiem sering menggunakan layanan ojek konvensional, bukan berarti ia tidak pernah mengalami hal menggelikan. Karena wajahnya yang kearab-araban, ia kerap kena tembak harga. Namun dari peristiwa itulah, ia tergelitik untuk mengobrol dengan para tukang ojek langganannya.
Dari obrolan-obrolan sederhana, timbul rasa simpati akan kondisi transportasi di Indonesia. Khususnya Jakarta. Menurutnya tukang ojek berani menembak harga lantaran sedikitnya pemasukan yang diterima. Lalu, ia ia berpikir, bagaimana caranya mengubah kondisi tersebut. Ia juga terkadang merasa resah ketika tahu ada banyak tukang ojek, namun ketika ia membutuhkan tukang ojek, sulit mencarinya.
Bermula dari banyak mengobrol dengan para tukang ojek langganan, ia jadi tahu bahwa sebagian besar waktu tukang ojek dihabiskan hanya untuk "mangkal" dan menunggu penumpang. Sangat tidak efisien. Belum lagi dengan adanya sistem bergilir, di mana pelanggan harus dibagi seadil-adilnya dengan sesama tukang ojek.
Dari hasil riset itulah, Nadiem mendapatkan ide untuk :
"Membuat inovasi supaya orang bisa dengan mudah
memesan ojek tanpa harus repot ke pangkalan ojek."
Kemudahan bagi penumpang ini ternyata juga menguntungkan tukang ojek, karena mereka kini tidak harus "mangkal" terus-menerus. Tinggal menggunakan layanan ponsel, penumpang dan tukang ojek dapat terkoneksi.
Sebenarnya, banyak orang yang punya ide serupa, yaitu memberikan layanan ojek seperti yang dipikirikan Nadiem. Bahkan, Nadiem mengakui bahwa ia bukan orang pertama yang mempunyai ide tersebut.Yang membedakannya, adalah Nadiem berani mewujudkan ide tersebut, sementara orang lain hanya menyimpannya dalam angan-angan mereka. Wajar jika kini, ia dan Go-Jek melejit karena apa yang ditawarkannya adalah hal yang dibutuhkan masyarakat.
Sebelum mendirikan Go-Jek, Nadiem pernah bekerja di perusahaan McKinsey & Company; sebagai Co-founder dan Managing Editor di Zalora Indonesia; menjadi Chief Innovation Officer Kartuku; serta menjabat sebagai direkture-commerce. Pengalaman bekerja di berbagai tempat itulah yang menjadi bekal Nadiem untuk membangun perusahaannya sendiri.
Namun, apakah bisnis yang dijalankan Nadiem berjalan mulus tanpa halangan? Sama sekali tidak. Ia mengaku bahwa saat awal mendirikan Go-Jek, ia mendapat gaji yang hanya cukup untuk menyambung hdup. Belum lagi kendala di lapangan, dimana sopir Go-Jek mendapat gesekan dengan sopir ojek lokal. Ia butuh beradaptasi dengan memberikan pengertian kepada para tukang ojek lokal yang merasa kehadiran Go-Jek telah mengurangi pendapatan mereka.
Tapi, bisnis startup yang dirintis dengan hanya 10 karyawan dan 20 tukang ojek tersebut kini telah berkembang menjadi layanan andalan masyarakat. Bahkan seiring berjalannya waktu, sopir yang mau bergabung denga Go-Jek mencapai puluhan ribu. Namun, setiap orang mestinya sadar bahwa makin tinggi posisi seorang pebisnis, makin kencanglah angin akan berhembus.
"makin tinggi posisi seorang pebisnis, makin kencanglah angin akan berhembus."